Selasa, 12 Agustus 2014

Sebuah Awal: CERITA DAUN TEMBAKAU


Saya mau  cerita tentang daun tembakau.

Masih terbawa suasana gembira karena cerpen masuk sebagai finalis dalam Lomba Tulis Nusantara 2014, walaupun tidak masuk dalam 3 besar, membuat saya jadi berniat membuat blog pribadi khusus, setelah sebelumnya dengan blog artikelgizikesehatan.blogspot.com yang sudah berjalan hampir 5 tahun. Blog ini untuk menuangkan materi-materi kepenulisan saya.

Oche, capcusss..bagi yang penasaran dari isi cerpen non fiksi yang saya kirimkan di Lomba Tulis Nusantara, silakan dinikmati dan dikasih kripik (eh kritik) dan sarannya.


CERITA DAUN TEMBAKAU: Kesabaran dalam Proses Panjang


Ini cerita tentang daun tembakau. Saya sangat familiar dengan daun tembakau bukan berarti karena saya perokok, karena saya sebenarnya sama sekali tidak pernah mengisap batang rokok, tapi  lebih karena di daerah  asal saya Kendal merupakan salah satu sentra penanaman tembakau.
Walaupun sekarang saya tinggal jauh dari kota asal dikarenakan pekerjaan,  tapi kenangan tentang daun tembakau selalu terpatri di hati. Uniknya, ini bukan tentang bagaimana daun itu dihisap, tapi bagaimana tetangga-tetangga kami berjuang keras untuk menanam, memanen dan memprosesnya hingga siap masuk ke pabrik menjadi lintingan rokok.
Keluarga kami sebenarnya  bukan petani, bapak saya punya sawah, tapi biasanya digarap orang lain karena beliau bekerja sebagai guru. Tapi saya hidup dalam lingkungan dimana kebanyakan tetangga-tetangga kami ikut terlibat dalam hiruk-pikuk menanam tembakau, sehingga saya akrab dengan kegiatan itu. Kata bapak saya sudah sejak lama sekali daerah kami menjadi sentra penanaman tembakau, mungkin sudah lebih dari 1 abad, tembakau kendal terkenal merupakan tembakau yang cukup berkualitas. Hal ini karena tanah di daerah kami sebagian besar kering, sehingga tidak cocok ditanami padi, komoditas yang cukup menjanjikan satu-satunya adalah tembakau.
Ada istilah khas selama proses itu mulai: mbibit, nandur, nyiram, ngeleb, Ngepek, ngruwek, ngimbon, ngrajang, nganjang, sampai mepe , malik dan madahi mbako.
Kegiatan memproses daun tembakau ini sarat dengan nilai , terutama nilai kegigigan dan kesabaran. Mungkin tak pernah terbayang bagi penikmat rokok betapa panjang proses yang harus dijalani oleh petani untuk mengolah daun-daun tembakau itu hingga sampai ke mulutnya.
Diawali dengan mbibit yaitu membuat bibit tembakau. Bibit diambil dari biji tembakau kualitas terbaik yang disemaikan di atas bedengan. Ada petani yang menamam bibit sendiri, ada juga yang beli dari petani yang khusus mengelola pembibitan. Setelah 1 bulan mulai tumbuh daun-daun kecil, siap untuk dipindahkan ke sawah, yaitu mulai nandur. Sejak bibit ditanam di sawah selama 3 bulan petani harus rajin menyiramnya agar bibit itu tumbuh dengan baik. Ini juga musim banyak job bagi penggali sumur. Biasanya petani membuat 3-4 sumur baru di sawahnya untuk memperlancar proses nyiram.
Tapi karena biasanya tembakau ditanam di musim kemarau, maka kadang sumur kering, sehingga ada petani yang melakukan ngeleb yaitu menggunakan bantuan pompa penyedot air untuk membanjiri sawah. Tujuannya agar tanah bisa terbasahi dan bibit tumbuh dengan baik. Yang diinginkan  petani saat nandur adalah hujan, tapi gerimis saja, sehingga cukup hanya membasahi. Kadang saat musim tidak menentu, tiba-tiba turun hujan besar, maka sering terjadi bibit-bibit banyak yang hanyut. Kalau demikian maka harus diulangi proses penanaman bibit lagi, petani jadi rugi.
Kalau tanaman sudah mulai tumbuh besar, petani malah mengharapkan jangan turun hujan, karena daun-daun itu akan berkualitas baik kalau panas . Kalau hujan terus nanti Mingsrinya tidak banyak. Mingsri adalah getah tembakau. Biasanya kalau daun itu dipegang maka tangan kita akan lengket hitam terkena Mingsri. Mingsri banyak adalah tanda kalau daun tembakau kualitasnya bagus.
Setelah 5 bulan dan daun lebar-lebar, mulailah panen tembakau. Daun yang pertama dipanen adalah daun yang paling bawah dulu, baru nanti beranjak daun yang paling atas, biasanya beberapa kali tahapan Ngepek mbako (ngambil tembakau). 
Waktu kecil  saya  sangat menikmati saat musim tembakau tiba. Terutama dengan aktivitas ngruwek. Ini adalah aktivitas yang memberi peluang seorang anak untuk memperoleh uang sendiri. Hal ini karena para  petani membutuhkan bantuan banyak orang untuk membantu menggulung daun-daun tembakaunya. Semua orang boleh ikut, termasuk anak-anak. Dulu ada tembangan tersendiri bagi para anak saat Ngruwek.
Eee...Mbakone Teko (Eee.. tembakaunya datang)
Eee...gelarke klasa ( Eee dipasangkan tikar)
Eee..klasane bolong (Eee..tikarnya sobek)
Eee..ditambal gemblong (Eee.. ditambal gemblong/panganan dari ketan)
Eee..gemblonge mambu ( Eee..gemblongnya basi)
Eee...pakake Asu (Eee.. diberikan anjing)
Eee..asune mati... (Eee..anjingnya mati)
Eee..buang neng kali (Eee..dibuang ke sungai )
Hore.....
Tembangan ini sahut sahutan diantara anak-anak yang Ngruwek sehingga kegiatan ini menjadi gayeng dan rame. Walaupun tidak ada yang tahu siapa pencipta tembang itu karena sudah dinyanyikan secara turun temurun saat musim tembakau tiba.
Para tukang Ngruwek dibayar per 10 gulungan. Untuk satu  gulungan biasanya berisi 15- 20an lembar. Kalau daunnya lebar, diambil dulu sebagian tulang daunnya, ini yang namanya Ngruwek, yaitu merobek tulang daun tembakau. Setelah ditumpuk kemudian digulung dan diikat dengan tali yang terbuat dari pelepah pohon pisang yang diiris panjang-panjang dan dikeringkan, era berikutnya tali pelepah pisang diganti tali rafia  biasa karena lebih mudah didapat dan praktis.  Kalau yang ahli Ngruwek,  dia bisa menghasilkan 100-200 gulung seharinya. Saya sendiri paling pol cuma bisa menghasilkan 20 gulung karena tidak begitu tahan dengan bau tembakau, tapi tetep gembira saat menerima uang hasil jerih payah. Resiko Ngruwek adalah tangan jadi hitam lengket kena Mingsri, ini hanya bisa dihilangkan dengan melumuri tangan  dengan minyak goreng, kemudian digosok dengan pelepah batang pisang.
Setelah  daun tembakau digulung kemudian mulai ngimbon, yaitu menyimpan gulungan di para-para, biasanya 3-5 hari sampai daunnya berwarna kekuningan. Lalu tibalah saat Ngrajang. Ngrajang dilaksanakan malam hari, biasanya mulai jam 12  malam sampai pagi hari, tergantung banyak sedikitnya gulungan yang dirajang. Alatnyapun khas, yaitu terbuat dari kayu dengan lobang untuk memasukkan gulungan. Tukang ngrajang ini perlu keahlian khusus, karena dia harus mampu menebas daun-daun tembakau menjadi rajangan kecil dan tipis dengan menggunakan bendo (sabit besar) yang tajam dengan  tempo cepat tanpa melukai jarinya. Rajangan daun tembakau yang menggunung di bawah perajang segera diambil untuk dianjang. Nganjang adalah proses menata rajangan daun tembakau diatas Rigen  yaitu papan persegi yang terbuat dari anyaman bambu . Tukang nganjang biasanya adalah ibu-ibu, jumlahnya 2-4 orang. Mereka dan Tukang Rajang harus mampu tahan kantuk semalaman karena praktis mereka tidak boleh tidur selama kegiatan ini berlangsung.
Saat pagi menjelang, mulailah proses mepe, yaitu menjemur rajangan tadi di bawah terik matahari. Biasanya memanfaatkan halaman yang luas atau lapangan desa. Nanti pada saat dhuhur alias matahari tepat di atas kepala , mereka harus malik mbako, yaitu membalik rajangan, yang bawah ke atas. Caranya dengan bantuan 1 Rigen lagi. Biasanya 2 orang bawa Rigen kosong, kemudian Rigen tersebut ditutupkan diatas Rigen yang ada rajangan, kemudian dibalik sehingga sekarang yang menjadi tempat adalah Rigen yang baru, sementara Rigen lama dibawa untuk membalik Rigen sebelahnya, begitu seterusnya. Proses penjemuran ini 3-5 hari tergantung cuaca.
Kalau rajangan sudah benar-benar kering, dilanjutkan proses madahi mbako (memasukkan tembakau) ke dalam keranjang. Keranjang tembakau juga khas, yaitu terbuat dari pelepah pohon pisang yang telah dikeringkan dan ditata di dalam keranjang bambu. Katanya kalau tempat tembakau bukan di keranjang ini, maka tidak akan sedap baunya.
Sampailah pada akhir proses, karena setelah rajangan tembakau dimasukkan dalam keranjang, maka petani tinggal tunggu pembeli yang akan membeli tembakaunya. Kadang calo sudah mulai menawar pada saat tembakau dijemur, bahkan ada juga yang menawar saat tanaman masih belum dipanen, sehingga terjadilah sistem ijon.
Kalau sebelumnya, masih dikenal  istilah “ Bodo Mbako”, yaitu Lebaran Tembakau, merupakan pestanya petani tembakau biasanya  pada bulan Agustus-September. Pada bulan itu biasanya tingkat hidup masyarakat di desa saya menjadi makmur karena harga jual tembakau yang tinggi, ditandai dengan banyaknya yang memakai perhiasan emas! Saya masih ingat waktu kecil melihat teman-teman sepermainan saya esoknya tiba-tiba memakai gelang dan kalung emas dibelikan orangtuanya setelah panen tembakau.
Tapi 10 tahun terakhir ini harga tembakau banyak yang dipermainkan calo, atau perusahaan rokoknya. Akibatnya banyak petani merugi karena ongkos yang harus dikeluarkan untuk proses yang panjang itu lebih besar daripada keuntungannya. Saya  sangat perihatin kalau mendengar tetangga-tetangga saya mengeluh bahwa panen tembakaunya ambruk, dan jadi merugi.
Tapi mereka tidak menyerah, tahun depan tetap gigih menanam tembakau. Dengan harapan yang tinggi hasil yang lebih memuaskan, maka proses panjang menanam daun tembakau  dijalani  lagi dengan penuh kesabaran .
Kabar terakhir dari kampung halaman, tahun ini, katanya terkait dengan disahkannya PP 109  tahun 2012  tentang pengamanan produk tembakau  oleh pemerintah yang membuat penanaman tembakau diawasi dengan ketat, bahkan cenderung dilarang, maka sekarang sudah sedikit yang menanam tembakau. Sebenarnya mereka agak kebingungan. Petani kemudian banyak yang beralih menaman jagung. Dulunya dalam 1 tahun setelah menanam tembakau mereka memang menanam jagung. Jadi sekarang sepanjang tahun terus-menerus menanam jagung. Hasil panen jagung, biasanya tidak sebanyak panen tembakau.
Walaupun saya sebenarnya setuju dengan maksud baik pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan mengurangi produksi tembakau, tapi sayang belum ada persiapan oleh pemerintah di tingkat petani untuk pengalihan komoditas yang sama menguntungkan. Bisa dibayangkan, mereka harus melakukan perubahan yang sudah berjalan lebih dari 1 abad tanpa tuntunan yang pasti. Harapannya adalah  pemberlakuan PP tersebut tidak mengakibatkan sebagian taraf hidup masyarakat menjadi turun.
Mungkin ini sudah takdirnya tradisi tembakau di kampung halaman saya perlahan berakhir. Semoga saja ditemukan komoditas pengganti yang lebih menghasilkan dan menyehatkan. Tapi saya yakin kegigihan dan kesabaran petani di daerah saya akan tetap terjaga, apapun komoditas yang ditanamnya. Kisah  daun tembakau ini akan sering saya ceritakan pada anak-anak saya, terutama kenangan tembang dolanan saat Ngruwek, supaya mereka mengenal  riwayat budayanya dan kesabaran panjang untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. ***




Memanen tembakau


Kegiatan Ngruwek


Ngimbon

Ngrajang


Nganjang



Malik Mbako

Tembakau dalam keranjang
                                               


1 komentar: