Minggu, 07 Agustus 2016

Cerpen: PENTAS

Oleh: Dyah Umiyarni

Sumber: www.Tjoret.net
Aku menatap wanita yang memakai kebaya tersebut. Sanggulnya  rapi,dengan hiasan bunga mawar plastik di atasnya.
Wanita itu muncul di hadapanku, ketika aku membuka pintu. Dia tersenyum padaku, lalu  menyanyi. Aku terkejut ketika mendengar sebuah tembang Dhandhanggula dinyanyikan dengan fasih.Mukanya sangat ekspresif saat menyanyikan lagu tersebut. Seakan sedang berada di sebuah pentas.
Ketika lagunya selesai, wanita itu menatapku sambil tersenyum lagi dengan anggun, seakan mengharap sebuah tepukan tangan meriah untuk suaranya yang adiluhung.
Aku kebingungan.Baru kali ini aku menjumpai seorang Sindhen yang mengamen di rumahku.Biasanya hanya anak-anak muda yang memainkan musik secara sembarangan, sehingga aku cuma menghargai mereka dengan uang recehan 500 atau 1000 rupiah.Sedangkan pada Sindhen ini, aku bingung, berapa aku harus menghargai tembangnya.

"Tidak usah memberiku apa-apa,"wanita itu seakan mengerti kebingunganku.
Aku hanya menyanyikan suara hati,"katanya lembut.

Dia kemudian berbalik, lalu melangkah meninggalkan rumahku.Aku masih terpana dengan kehadirannya, begitu juga dengan kepergiannya.
****
Pagi ini aku sebenarnya malas menunaikan tugasku.Sebagai seorang reporter sebuah televisi lokal, aku sebenarnya bosan dengan program televisiku yang kurang variatif.Hari ini aku harus meliput sebuah acara pengguntingan pita lagi.

"Janganlah cemberut.Hadapi hari dengan senyuman," goda Tris,kameramenku.

Menurutnya tidak mengapa kami meliput acara pengguntingan pita,asal setelah itu kami  mendapat makan-makan gratis dan amplop tebal.

Aku baru tahu setelah sampai di lokasi kalau kali ini kami harus meliput sebuah acara pengguntingan pita untuk meresmikan sebuah museum.

Seorang Hartawan yang peduli pada kebudayaan mendirikan sebuah museum wayang.Ini adalah sebuah acara yang cukup langka di kota ini.Biasanya mereka meliput acara pengguntingan pita untuk peresmian sebuah pertokoan,kantor atau sekolah.Rupanya masih ada orang yang peduli pada kesenian dan berniat melestarikannya.

"Saya ingin anak-anak kita tidak kehilangan obor kebudayaannya,"kata laki-laki gemuk tersebut dalam sesi wawancara. Butiran keringat membasahi dahinya.
Hartawan itu mengkoleksi aneka jenis wayang, dari wayang jemblung,wayang suket, golek dan tentu saja wayang kulit.Tris mengarahkan kameranya cukup lama pada koleksi wayang kulit.Dia kelihatan sangat tertarik, sepertinya dia sudah akrab dengan dunia wayang, gamelan serta perangkatnya itu.

"Kalau boleh tahu, wayang dan gamelannya dapat dari mana, Pak?"tanya Tris setelah sesi peliputan selesai.Dia kelihatannya sangat ingin tahu.

"Dari Dhalang Sastro, kasihan, dia sudah bangkrut dan sakit-sakitan, sehingga menjual perangkat wayangnya itu,” kata Hartawan itu ramah menjawab pertanyaan. Tris kelihatan agak menggumam.
***
Aku  berjumpa dengan wanita itu lagi  di pasar. Masih dengan dandanan yang sama,kebaya merah dengan selendang pink, dan selipan bunga mawar plastik  di sanggulnya.
Di depan sebuah kios, dia menyanyikan tembangnya dengan khusyuk.Beberapa tukang becak mendekat.Mereka menggodanya, dan menyuruhnya menyanyikan lagu Dhangdhut.
Wanita itu menolak permintaan para tukang becak.Rupanya dia tidak mau menyanyikan lagu lain, kecuali tembang Macapatan. Aku melihat pemilik kios hanya memberinya uang 500 rupiah.Wanita itu mengangguk hormat pada pemilik kios.Dia menerima rezekinya dengan penuh kesyukuran.Walaupun pemilik kios itu menghargai tembang Kinanthinya tak lebih sama dengan harga satu bungkus permen kojek yang dijualnya.
Dari seorang pedagang Sayur, aku kemudian tahu kalau wanita itu dulunya Sindhen Dhalang Sastro, yang kemudian dinikahinya setelah menceraikan  istri pertamanya yang sudah memberinya seorang anak berumur 10 tahun. Anak itu kemudian diasuh ibunya. Karena Sindhen itu tidak mau diganggu keasyikannya Nyindhen, dengan rengekan seorang anak kecil.
*****
“ Sekarang kayaknya sudah tidak ada orang yang hapal Tembang Macapatan.  Seperti   yang sering dinyanyikan Sindhen” gumamku, ketika aku dan Tris sedang makan siang di kantin kantor seusai meliput.

 “ Siapa bilang? Aku hapal hampir semua tembang Macapatan dalam pertunjukan Wayang,” tukas Tris.

Aku mendongak, menatap laki-laki berambut ikal  di hadapanku tersebut.Sudah 2 tahun mereka bersama sebagai patner kerja.Selama ini aku belum mengenalnya secara mendalam, termasuk kemampuannnya menyanyikan tembang Macapatan.

“ Tidak percaya? Aku bisa, walaupun tidak sebagus seorang Sindhen,”Tris kemudian rengeng-rengeng menyanyikan tembang Dhandhanggula. Aku terkejut, cukup fasih juga Tris menyanyikannya.

“ Aku pernah mendengar seseorang menyanyikan lagu yang sama,” tukasku. Aku lalu bercerita tentang wanita itu yang menyanyikan tembang Dhadhanggula yang sama saat dia ngamen di rumahku.

“ Jadi dia sekarang ngamen?” Tris kelihatan agak terkejut.
“ Kamu kenal dengannya?” aku bertanya penasaran, melihat sikap Tris. Tris terlihat mengencangkan rahangnya.

            Dia  diam, tak menjawab pertanyaanku. Aku jadi semakin ingin tahu. Kelihatannya ada pertalian antara Tris dengan wanita itu. Kenapa pula Tris tahu lagu-lagu Macapatan yang dikuasai oleh seorang Sindhen? Tapi Tris malah mengalihkan pembicaraan, rupanya dia tidak mau aku mengorek informasi tentang misteri wanita tersebut dalam kehidupannya.
****
Pada hari minggu berikutnya, aku sengaja pergi ke pasar lagi untuk mencari wanita tersebut. Aku menjumpainya sedang ngamen di sebuah warung. Bergegas aku ikut masuk ke dalam warung tersebut. Aku memesan 2 gelas es jeruk.
Aku membuka dompet dan mengulurkan uang 50000 rupiah  pada wanita itu, ketika dia nembang di hadapanku.Menurutku jumlah tersebut cukup layak untuk menghargai tembang Macapatnya.Wanita itu terkejut ketika menerima pemberianku.

"Ini terlalu banyak,mbak,"katanya lembut sambil mengembalikan uangku.Aku menggeleng, aku meminta wanita tersebut agar mau menerimanya.Aku bahkan menyuruh wanita itu untuk duduk bersamaku.
Aku ingin mentraktir minuman untuk wanita itu.Pasti tenggorokannya butuh sesuatu yang segar setelah dibawa mengeluarkan suara Sindhennya dari tadi.Wanita itu sejenak ragu-ragu, tapi kemudian dia bersedia menerima es jeruk yang disodorkan olehku.
Aku mengamatinya. Garis-garis kecantikan masih nampak di wajahnya. Umurnya juga aku taksir masih sekitar 40 tahunan.Tapi kesulitan hidup telah membuat mukanya tirus dan tubuhnya kehilangan kesegarannya.

"Orang-orang sekarang tidak menghargai tembang Macapatan,"keluhnya sambil menikmati esnya.
Aku tidak membantah pernyataan tersebut. Aku sudah melihat bagaimana para pendengar hanya menghargai tembang Macapatan wanita itu dengan uang 500 rupiah tempo hari.
Mungkin karena sekarang masanya sudah berubah. Tembang pop atau Dhangdut lebih enak terdengar di telinga, daripada tembang ‘berat’ seperti Macapatan.

"Mbak bisa menghargai tembang. Makanya aku sebenarnya tidak mau meminta bayaran dari mbak," katanya lembut.
Rupanya dia ingat pernah mendatangiku, dan memberinya tembang Dhandhanggula gratis.Dia senang pada orang-orang yang mau menghargai tembangnya.
            Tanpa diminta, wanita itu lalu menceritakan kisah hidupnya.Dari seorang Sindhen utama yang dipuja, saat dia berumur 18 tahun,menjadi Sindhen jalanan seperti ini.

"Suamiku sedang sakit.Aku tak tahu bagaimana cara mendapatkan uang, selain nyinden, walau di jalanan," dia berkata sambil menghela nafas.

Ada beban berat yang menganjal di dadanya. Matanya menerawang.Dia ingat ketika dengan bangga telah memenangkan hati seorang Dhalang, walaupun untuk itu dia telah menyebabkan seorang wanita lain tersingkir.

 “ Maaf, Bu. Apakah ibu kenal dengan Tris?” tanyaku, setelah wanita tersebut menuntaskan kisahnya. Wanita itu terlihat terkejut.
“ Tris yang mana ya? “ ucapnya cepat sambil menutupi kegugupannya.
“ Saya punya teman reporter namanya Tris. Kelihatannya kenal dengan Ibu dan Dhalang Sastro,” tukasku. Aku kemudian menceritakan tentang Tris.
“ Banyak orang yang kenal dengan kami, karena kami dulu pentas dimana-mana!” cetus wanita itu jumawa sambil menegakkan tubuhnya.

Aku bisa memaklumi sikapnya, sikap seorang mantan pesohor, yang yakin masih dikenal oleh semua orang. Tapi Aku tetap merasa mereka punya sebuah pertalian kisah, walaupun keduanya tidak mau menceritakan kepadanya.  Saat ini aku belum  berani mengorek lebih mendalam.

"Suatu saat aku ingin nyinden lagi. Di sebuah pentas! "tukas  wanita itu,  setelah termenung cukup lama.  Aku memandang wanita tersebut dengan terharu. Jiwa seni rupanya masih menggeliat walaupun di tengah keterpurukan.
Kami kemudian berpisah, setelah masing-masing menghabiskan segelas es jeruk.Wanita itu pergi dengan menggenggam uang 50000 yang kupaksa untuk menerimanya.
******
Sepulang meliput, Aku sengaja mampir ke Museum Wayang yang kini sudah dibuka untuk umum. Hanya dengan membayar 5000 rupiah,aku bisa menikmati aneka koleksi yang menggambarkan sejarah pewayangan di negeri ini.
Aku melihat-lihat ke bagian Wayang Kulit,  melihat perangkat Gamelan yang dulunya dimiliki oleh Dhalang Sastro. Gamelan itu    masih cukup bagus kondisinya. Sementara perangkat wayang lengkap dengan gunungannya juga ditata di depannya,  seperti siap digelar sebuah pertunjukan.
Aku duduk diantara gamelan tersebut. Dudukku sengaja kubuat menyimpuh seperti seorang Sindhen.Aku sedang menghayati bagaimana rasanya menjadi seorang Sindhen yang melagukan tembang-tembang Macapatan mengiringi sebuah pertunjukan Wayang.
 Aku memejamkan mata, terlihat lampu Blenchong dan gerak sang Wayang yang dikibaskan oleh Dhalang, kemudian suara Sindhennya menggema tunggal. Aku jadi bisa mengerti kenapa wanita itu merindukan untuk Nyindhen   lagi dalam sebuah pentas.   Pementasan akan membuatnya  menjadi  seorang Diva dalam sebuah pertunjukan. Hal yang mungkin tak bisa dia dapatkan dalam kehidupan nyata yang penuh dengan persoalan hidup.
*****
Aku mencoba mencari wanita itu  lagi ketika pergi ke pasar, aku ingin mentraktirnya minum lagi. Kemarin  aku lupa  menceritakan tentang  Gamelan suaminya  yang sudah berada di  Museum.
Mungkin itu akan bisa  sedikit mententramkan hati Sang Dhalang, bahwa Wayang dan Gamelan yang dicintainya, setidaknya kini  telah  menjadi simbol budaya, yang dapat digunakan sebagai  pembelajaran untuk anak cucu. 
Selain itu aku ingin  lagi mencoba mengorek hubungannya dengan Tris. Sejujurnya aku sudah mulai tertarik dengan lelaki berambut ikal tersebut. Aku ingin tahu lebih mendalam bagaimana kehidupannya, termasuk masa lalunya. 
Tapi wanita itu tidak aku temui, walau aku sudah keliling pasar. Dari penjual sayur yang kutemui, diperoleh informasi kalau memang sudah lama wanita itu tidak nampak nyindhen di pasar karena sakit suaminya yang bertambah parah. Aku  lalu berencana ingin pergi mencari rumahnya.

****
Pagi ini penuh aroma duka. Aku akhirnya bertemu  wanita  Sindhen itu, dan juga mengunjungi rumahnya. Tapi aku menemuinya dengan air mata yang menetes deras di matanya.  Air mata yang sama juga aku lihat meleleh dari sudut mata Tris.
Dhalang Sastro meninggal dunia, dan mereka adalah dua orang yang menangis paling dalam mengantar kepergiannya. Aku baru tahu kalau Tris ternyata adalah anak Dhalang Sastro, dari istri pertama yang disingkirkan, yang kemudian sudah terlebih dulu meninggal karena memendam sakit perasaan. Setelah ibunya meninggal, Tris kemudian diasuh oleh bibinya.
Sebelum jenazah diberangkatkan, ada sebuah ritual unik yang dilaksanakan atas permintaan Sang Dhalang.
Wanita itu memakai kebayanya, kali ini berwarna hitam. Rambutnya juga disanggul, tapi ditutup dengan kerudung hitam tipis. Dia berdiri di teras yang berundak tinggi  dengan keranda jenazah di sampingnya. Orang-orang berkumpul di halaman, dengan pandangan tertuju ke arah teras.  Ini seperti sebuah pentas. Dengan wanita Sindhen itu dan jenazah Dhalang Sastro sebagai pemainnya.
Kemudian terdengar suara yang melengking tinggi dan meliuk mendayu. Wanita itu menyanyikan sebuah tembang Megatruh untuk mengiringi kepergian suaminya. Suasana sangat khusuk, sampai di akhir tembang, ketika keranda jenazah itu kemudian diangkat untuk dibawa ke pemakaman.


“ Tadi itu adalah pentas Sindhenku yang paling hebat!” gumamnya puas ketika aku menyalaminya. 

Aku memandangnya terharu. Aku  melihat jiwa Sindhen tersebut sudah terbang mengikuti jenazah suaminya. **** 



Baca juga resensi buku 9 Secret of Women, Rahasia Gizi yang Penting Diketahui oleh Wanita