Saya mau cerita tentang daun tembakau.
Masih terbawa suasana
gembira karena cerpen masuk sebagai finalis dalam Lomba Tulis Nusantara 2014,
walaupun tidak masuk dalam 3 besar, membuat saya jadi berniat membuat blog
pribadi khusus, setelah sebelumnya dengan blog artikelgizikesehatan.blogspot.com
yang sudah berjalan hampir 5 tahun. Blog ini untuk menuangkan materi-materi
kepenulisan saya.
Oche, capcusss..bagi
yang penasaran dari isi cerpen non fiksi yang saya kirimkan di Lomba Tulis Nusantara,
silakan dinikmati dan dikasih kripik (eh kritik) dan sarannya.
CERITA DAUN TEMBAKAU: Kesabaran dalam Proses Panjang
Ini
cerita tentang daun tembakau. Saya sangat familiar dengan daun tembakau bukan
berarti karena saya perokok, karena saya sebenarnya sama sekali tidak pernah mengisap
batang rokok, tapi lebih karena di
daerah asal saya Kendal merupakan salah
satu sentra penanaman tembakau.
Walaupun
sekarang saya tinggal jauh dari kota asal dikarenakan pekerjaan, tapi kenangan tentang daun tembakau selalu
terpatri di hati. Uniknya, ini bukan tentang bagaimana daun itu dihisap, tapi
bagaimana tetangga-tetangga kami berjuang keras untuk menanam, memanen dan
memprosesnya hingga siap masuk ke pabrik menjadi lintingan rokok.
Keluarga
kami sebenarnya bukan petani, bapak saya
punya sawah, tapi biasanya digarap orang lain karena beliau bekerja sebagai
guru. Tapi saya hidup dalam lingkungan dimana kebanyakan tetangga-tetangga kami
ikut terlibat dalam hiruk-pikuk menanam tembakau, sehingga saya akrab dengan
kegiatan itu. Kata bapak saya sudah sejak lama sekali daerah kami menjadi
sentra penanaman tembakau, mungkin sudah lebih dari 1 abad, tembakau kendal terkenal
merupakan tembakau yang cukup berkualitas. Hal ini karena tanah di daerah kami
sebagian besar kering, sehingga tidak cocok ditanami padi, komoditas yang cukup
menjanjikan satu-satunya adalah tembakau.
Ada
istilah khas selama proses itu mulai: mbibit,
nandur, nyiram, ngeleb, Ngepek, ngruwek,
ngimbon, ngrajang, nganjang, sampai mepe
, malik dan madahi mbako.
Kegiatan
memproses daun tembakau ini sarat dengan nilai , terutama nilai kegigigan dan
kesabaran. Mungkin tak pernah terbayang bagi penikmat rokok betapa panjang
proses yang harus dijalani oleh petani untuk mengolah daun-daun tembakau itu
hingga sampai ke mulutnya.
Diawali
dengan mbibit yaitu membuat bibit
tembakau. Bibit diambil dari biji tembakau kualitas terbaik yang disemaikan di
atas bedengan. Ada petani yang menamam bibit sendiri, ada juga yang beli dari
petani yang khusus mengelola pembibitan. Setelah 1 bulan mulai tumbuh daun-daun
kecil, siap untuk dipindahkan ke sawah, yaitu mulai nandur. Sejak bibit ditanam di sawah selama 3 bulan petani harus
rajin menyiramnya agar bibit itu tumbuh dengan baik. Ini juga musim banyak job
bagi penggali sumur. Biasanya petani membuat 3-4 sumur baru di sawahnya untuk
memperlancar proses nyiram.
Tapi
karena biasanya tembakau ditanam di musim kemarau, maka kadang sumur kering,
sehingga ada petani yang melakukan ngeleb
yaitu menggunakan bantuan pompa penyedot air untuk membanjiri sawah.
Tujuannya agar tanah bisa terbasahi dan bibit tumbuh dengan baik. Yang diinginkan petani saat nandur adalah hujan, tapi gerimis saja, sehingga cukup hanya
membasahi. Kadang saat musim tidak menentu, tiba-tiba turun hujan besar, maka
sering terjadi bibit-bibit banyak yang hanyut. Kalau demikian maka harus diulangi
proses penanaman bibit lagi, petani jadi rugi.
Kalau
tanaman sudah mulai tumbuh besar, petani malah mengharapkan jangan turun hujan,
karena daun-daun itu akan berkualitas baik kalau panas . Kalau hujan terus
nanti Mingsrinya tidak banyak. Mingsri adalah getah tembakau. Biasanya
kalau daun itu dipegang maka tangan kita akan lengket hitam terkena Mingsri. Mingsri banyak adalah tanda kalau daun tembakau kualitasnya bagus.
Setelah
5 bulan dan daun lebar-lebar, mulailah panen tembakau. Daun yang pertama
dipanen adalah daun yang paling bawah dulu, baru nanti beranjak daun yang
paling atas, biasanya beberapa kali tahapan Ngepek
mbako (ngambil tembakau).
Waktu
kecil saya sangat menikmati saat musim tembakau tiba.
Terutama dengan aktivitas ngruwek. Ini
adalah aktivitas yang memberi peluang seorang anak untuk memperoleh uang
sendiri. Hal ini karena para petani
membutuhkan bantuan banyak orang untuk membantu menggulung daun-daun
tembakaunya. Semua orang boleh ikut, termasuk anak-anak. Dulu ada tembangan tersendiri
bagi para anak saat Ngruwek.
Eee...Mbakone
Teko
(Eee.. tembakaunya datang)
Eee...gelarke
klasa ( Eee dipasangkan tikar)
Eee..klasane
bolong (Eee..tikarnya sobek)
Eee..ditambal
gemblong (Eee.. ditambal gemblong/panganan dari ketan)
Eee..gemblonge
mambu ( Eee..gemblongnya basi)
Eee...pakake
Asu
(Eee.. diberikan anjing)
Eee..asune
mati... (Eee..anjingnya mati)
Eee..buang neng kali
(Eee..dibuang ke sungai )
Hore.....
Tembangan
ini sahut sahutan diantara anak-anak yang Ngruwek
sehingga kegiatan ini menjadi gayeng
dan rame. Walaupun tidak ada yang tahu siapa pencipta tembang itu karena sudah
dinyanyikan secara turun temurun saat musim tembakau tiba.
Para
tukang Ngruwek dibayar per 10
gulungan. Untuk satu gulungan biasanya berisi
15- 20an lembar. Kalau daunnya lebar, diambil dulu sebagian tulang daunnya, ini
yang namanya Ngruwek, yaitu merobek
tulang daun tembakau. Setelah ditumpuk kemudian digulung dan diikat dengan tali
yang terbuat dari pelepah pohon pisang yang diiris panjang-panjang dan
dikeringkan, era berikutnya tali pelepah pisang diganti tali rafia biasa karena lebih mudah didapat dan praktis.
Kalau yang ahli Ngruwek, dia bisa
menghasilkan 100-200 gulung seharinya. Saya sendiri paling pol cuma bisa
menghasilkan 20 gulung karena tidak begitu tahan dengan bau tembakau, tapi
tetep gembira saat menerima uang hasil jerih payah. Resiko Ngruwek adalah tangan jadi hitam lengket kena Mingsri, ini hanya bisa dihilangkan dengan melumuri tangan dengan minyak goreng, kemudian digosok dengan
pelepah batang pisang.
Setelah daun tembakau digulung kemudian mulai ngimbon, yaitu menyimpan gulungan di
para-para, biasanya 3-5 hari sampai daunnya berwarna kekuningan. Lalu tibalah
saat Ngrajang. Ngrajang dilaksanakan malam
hari, biasanya mulai jam 12 malam sampai
pagi hari, tergantung banyak sedikitnya gulungan yang dirajang. Alatnyapun
khas, yaitu terbuat dari kayu dengan lobang untuk memasukkan gulungan. Tukang ngrajang ini perlu keahlian khusus,
karena dia harus mampu menebas daun-daun tembakau menjadi rajangan kecil dan
tipis dengan menggunakan bendo (sabit besar) yang tajam dengan tempo cepat tanpa melukai jarinya. Rajangan
daun tembakau yang menggunung di bawah perajang segera diambil untuk dianjang. Nganjang adalah proses menata rajangan daun tembakau diatas Rigen yaitu papan persegi yang terbuat dari anyaman
bambu . Tukang nganjang biasanya
adalah ibu-ibu, jumlahnya 2-4 orang. Mereka dan Tukang Rajang harus mampu tahan kantuk semalaman karena praktis mereka
tidak boleh tidur selama kegiatan ini berlangsung.
Saat
pagi menjelang, mulailah proses mepe,
yaitu menjemur rajangan tadi di bawah terik matahari. Biasanya memanfaatkan
halaman yang luas atau lapangan desa. Nanti pada saat dhuhur alias matahari
tepat di atas kepala , mereka harus malik
mbako, yaitu membalik rajangan, yang bawah ke atas. Caranya dengan bantuan
1 Rigen lagi. Biasanya 2 orang bawa Rigen kosong, kemudian Rigen tersebut ditutupkan diatas Rigen yang ada rajangan, kemudian
dibalik sehingga sekarang yang menjadi tempat adalah Rigen yang baru, sementara Rigen
lama dibawa untuk membalik Rigen
sebelahnya, begitu seterusnya. Proses penjemuran ini 3-5 hari tergantung cuaca.
Kalau
rajangan sudah benar-benar kering, dilanjutkan proses madahi mbako (memasukkan tembakau) ke dalam keranjang. Keranjang
tembakau juga khas, yaitu terbuat dari pelepah pohon pisang yang telah
dikeringkan dan ditata di dalam keranjang bambu. Katanya kalau tempat tembakau
bukan di keranjang ini, maka tidak akan sedap baunya.
Sampailah
pada akhir proses, karena setelah rajangan tembakau dimasukkan dalam keranjang,
maka petani tinggal tunggu pembeli yang akan membeli tembakaunya. Kadang calo
sudah mulai menawar pada saat tembakau dijemur, bahkan ada juga yang menawar
saat tanaman masih belum dipanen, sehingga terjadilah sistem ijon.
Kalau
sebelumnya, masih dikenal istilah “ Bodo Mbako”, yaitu Lebaran Tembakau,
merupakan pestanya petani tembakau biasanya
pada bulan Agustus-September. Pada bulan itu biasanya tingkat hidup
masyarakat di desa saya menjadi makmur karena harga jual tembakau yang tinggi, ditandai
dengan banyaknya yang memakai perhiasan emas! Saya masih ingat waktu kecil
melihat teman-teman sepermainan saya esoknya tiba-tiba memakai gelang dan
kalung emas dibelikan orangtuanya setelah panen tembakau.
Tapi
10 tahun terakhir ini harga tembakau banyak yang dipermainkan calo, atau
perusahaan rokoknya. Akibatnya banyak petani merugi karena ongkos yang harus
dikeluarkan untuk proses yang panjang itu lebih besar daripada keuntungannya.
Saya sangat perihatin kalau mendengar
tetangga-tetangga saya mengeluh bahwa panen tembakaunya ambruk, dan jadi
merugi.
Tapi
mereka tidak menyerah, tahun depan tetap gigih menanam tembakau. Dengan harapan
yang tinggi hasil yang lebih memuaskan, maka proses panjang menanam daun
tembakau dijalani lagi dengan penuh kesabaran .
Kabar
terakhir dari kampung halaman, tahun ini, katanya terkait dengan disahkannya PP
109 tahun 2012 tentang pengamanan produk tembakau oleh pemerintah yang membuat penanaman
tembakau diawasi dengan ketat, bahkan cenderung dilarang, maka sekarang sudah
sedikit yang menanam tembakau. Sebenarnya mereka agak kebingungan. Petani
kemudian banyak yang beralih menaman jagung. Dulunya dalam 1 tahun setelah
menanam tembakau mereka memang menanam jagung. Jadi sekarang sepanjang tahun
terus-menerus menanam jagung. Hasil panen jagung, biasanya tidak sebanyak panen
tembakau.
Walaupun
saya sebenarnya setuju dengan maksud baik pemerintah untuk melindungi kesehatan
masyarakat dengan mengurangi produksi tembakau, tapi sayang belum ada persiapan
oleh pemerintah di tingkat petani untuk pengalihan komoditas yang sama
menguntungkan. Bisa dibayangkan, mereka harus melakukan perubahan yang sudah
berjalan lebih dari 1 abad tanpa tuntunan yang pasti. Harapannya adalah pemberlakuan PP tersebut tidak mengakibatkan
sebagian taraf hidup masyarakat menjadi turun.
Mungkin
ini sudah takdirnya tradisi tembakau di kampung halaman saya perlahan berakhir.
Semoga saja ditemukan komoditas pengganti yang lebih menghasilkan dan
menyehatkan. Tapi saya yakin kegigihan dan kesabaran petani di daerah saya akan
tetap terjaga, apapun komoditas yang ditanamnya. Kisah daun tembakau ini akan sering saya ceritakan
pada anak-anak saya, terutama kenangan tembang dolanan saat Ngruwek, supaya mereka mengenal riwayat budayanya dan kesabaran panjang untuk
mencapai suatu hasil yang diinginkan. ***
Memanen tembakau
Kegiatan Ngruwek
Ngimbon
Ngrajang
Nganjang
Malik Mbako
Tembakau dalam keranjang
Ini sih daerah mana Mba??
BalasHapus