Oleh: Dyah Umiyarni
Sumber: www.Tjoret.net
|
Wanita itu muncul di
hadapanku, ketika
aku membuka pintu. Dia tersenyum
padaku, lalu menyanyi. Aku terkejut ketika mendengar
sebuah tembang Dhandhanggula dinyanyikan dengan fasih.Mukanya sangat ekspresif
saat menyanyikan lagu tersebut. Seakan sedang berada di sebuah pentas.
Ketika lagunya selesai,
wanita itu menatapku
sambil
tersenyum lagi dengan anggun, seakan mengharap sebuah tepukan tangan meriah untuk
suaranya yang adiluhung.
Aku kebingungan.Baru kali ini
aku menjumpai seorang Sindhen yang mengamen di rumahku.Biasanya hanya anak-anak
muda yang memainkan musik secara sembarangan, sehingga aku cuma menghargai mereka
dengan uang recehan 500 atau 1000 rupiah.Sedangkan pada Sindhen ini, aku bingung, berapa aku harus menghargai tembangnya.
"Tidak usah memberiku
apa-apa,"wanita itu seakan mengerti kebingunganku.
“Aku hanya menyanyikan suara
hati,"katanya lembut.
Dia kemudian berbalik, lalu melangkah meninggalkan
rumahku.Aku masih terpana dengan
kehadirannya, begitu juga dengan kepergiannya.
****
Pagi ini aku sebenarnya malas
menunaikan tugasku.Sebagai seorang reporter sebuah televisi lokal, aku sebenarnya bosan dengan
program televisiku yang kurang variatif.Hari ini aku harus meliput sebuah acara
pengguntingan pita lagi.
"Janganlah cemberut.Hadapi
hari dengan senyuman," goda Tris,kameramenku.
Menurutnya tidak mengapa kami meliput acara pengguntingan
pita,asal setelah itu kami mendapat makan-makan
gratis dan amplop tebal.
Aku baru tahu setelah
sampai di lokasi kalau kali ini kami harus meliput sebuah acara pengguntingan
pita untuk meresmikan sebuah museum.
Seorang Hartawan yang
peduli pada kebudayaan mendirikan sebuah museum wayang.Ini adalah sebuah acara
yang cukup langka di kota ini.Biasanya mereka meliput acara pengguntingan pita
untuk peresmian sebuah pertokoan,kantor atau sekolah.Rupanya masih ada orang
yang peduli pada kesenian dan berniat melestarikannya.
"Saya ingin anak-anak
kita tidak kehilangan obor kebudayaannya,"kata laki-laki gemuk tersebut
dalam sesi wawancara. Butiran keringat membasahi dahinya.
Hartawan itu mengkoleksi
aneka jenis wayang, dari wayang jemblung,wayang suket, golek dan tentu saja
wayang kulit.Tris mengarahkan kameranya cukup lama pada koleksi wayang
kulit.Dia kelihatan sangat tertarik, sepertinya dia sudah akrab dengan dunia
wayang, gamelan serta perangkatnya itu.
"Kalau boleh tahu,
wayang dan gamelannya dapat dari mana, Pak?"tanya Tris setelah sesi
peliputan selesai.Dia kelihatannya sangat ingin tahu.
"Dari Dhalang Sastro,
kasihan, dia sudah bangkrut dan sakit-sakitan, sehingga
menjual perangkat wayangnya itu,” kata Hartawan itu ramah menjawab pertanyaan. Tris kelihatan agak
menggumam.
***
Aku berjumpa dengan wanita itu lagi di pasar. Masih dengan dandanan yang
sama,kebaya merah dengan selendang pink, dan selipan bunga mawar plastik di sanggulnya.
Di depan sebuah kios, dia
menyanyikan tembangnya dengan khusyuk.Beberapa tukang becak mendekat.Mereka
menggodanya, dan menyuruhnya menyanyikan lagu Dhangdhut.
Wanita itu menolak
permintaan para tukang becak.Rupanya dia tidak mau menyanyikan lagu lain,
kecuali tembang Macapatan. Aku melihat pemilik kios
hanya memberinya uang 500 rupiah.Wanita itu mengangguk hormat pada pemilik kios.Dia menerima
rezekinya dengan penuh kesyukuran.Walaupun pemilik kios itu menghargai tembang Kinanthinya tak lebih sama dengan harga satu
bungkus permen kojek yang dijualnya.
Dari seorang
pedagang Sayur, aku kemudian tahu kalau wanita itu dulunya Sindhen Dhalang
Sastro, yang kemudian dinikahinya setelah menceraikan istri pertamanya yang sudah memberinya
seorang anak berumur 10 tahun. Anak itu kemudian diasuh ibunya. Karena Sindhen
itu tidak mau diganggu keasyikannya Nyindhen,
dengan rengekan seorang anak kecil.
*****
“ Sekarang
kayaknya sudah tidak ada orang yang hapal Tembang Macapatan. Seperti yang
sering dinyanyikan Sindhen” gumamku,
ketika aku dan Tris sedang makan siang di kantin kantor seusai meliput.
“ Siapa bilang? Aku hapal hampir semua tembang
Macapatan dalam pertunjukan Wayang,”
tukas Tris.
Aku mendongak, menatap laki-laki berambut
ikal di hadapanku tersebut.Sudah 2 tahun
mereka bersama sebagai patner kerja.Selama ini aku belum mengenalnya secara mendalam,
termasuk kemampuannnya menyanyikan tembang Macapatan.
“ Tidak percaya?
Aku bisa, walaupun tidak sebagus seorang Sindhen,”Tris
kemudian rengeng-rengeng menyanyikan
tembang Dhandhanggula. Aku terkejut,
cukup fasih juga Tris menyanyikannya.
“ Aku pernah
mendengar seseorang menyanyikan lagu yang sama,” tukasku. Aku lalu bercerita
tentang wanita itu yang menyanyikan tembang Dhadhanggula
yang sama saat dia ngamen di rumahku.
“ Jadi dia sekarang
ngamen?” Tris kelihatan agak terkejut.
“ Kamu kenal
dengannya?” aku bertanya penasaran, melihat sikap Tris. Tris terlihat
mengencangkan rahangnya.
Dia
diam, tak menjawab pertanyaanku. Aku jadi semakin ingin tahu.
Kelihatannya ada pertalian antara Tris dengan wanita itu. Kenapa pula Tris tahu
lagu-lagu Macapatan yang dikuasai
oleh seorang Sindhen? Tapi Tris malah mengalihkan pembicaraan, rupanya dia
tidak mau aku mengorek informasi tentang misteri wanita tersebut dalam
kehidupannya.
****
Pada hari minggu
berikutnya, aku sengaja pergi ke pasar lagi untuk mencari wanita tersebut. Aku
menjumpainya sedang ngamen di sebuah warung. Bergegas aku ikut masuk ke dalam
warung tersebut. Aku memesan 2 gelas es jeruk.
Aku membuka dompet dan
mengulurkan uang 50000 rupiah pada wanita
itu, ketika dia nembang di hadapanku.Menurutku jumlah tersebut cukup
layak untuk menghargai tembang Macapatnya.Wanita
itu terkejut ketika menerima pemberianku.
"Ini terlalu
banyak,mbak,"katanya lembut sambil mengembalikan uangku.Aku menggeleng, aku meminta wanita tersebut
agar mau menerimanya.Aku bahkan menyuruh wanita itu untuk duduk bersamaku.
Aku ingin mentraktir minuman
untuk wanita itu.Pasti tenggorokannya butuh sesuatu yang segar setelah dibawa
mengeluarkan suara Sindhennya dari
tadi.Wanita itu sejenak ragu-ragu, tapi kemudian dia bersedia menerima es jeruk yang
disodorkan olehku.
Aku mengamatinya. Garis-garis kecantikan
masih nampak di wajahnya. Umurnya juga aku taksir masih sekitar 40 tahunan.Tapi kesulitan
hidup telah membuat mukanya tirus dan tubuhnya kehilangan kesegarannya.
"Orang-orang sekarang
tidak menghargai tembang Macapatan,"keluhnya
sambil menikmati esnya.
Aku tidak membantah
pernyataan tersebut. Aku sudah melihat bagaimana para pendengar hanya menghargai
tembang Macapatan wanita itu dengan uang 500 rupiah tempo hari.
Mungkin karena
sekarang masanya sudah berubah. Tembang pop atau Dhangdut lebih enak terdengar
di telinga, daripada tembang ‘berat’ seperti Macapatan.
"Mbak bisa menghargai
tembang. Makanya aku sebenarnya tidak mau meminta bayaran dari mbak,"
katanya lembut.
Rupanya dia ingat pernah
mendatangiku, dan
memberinya tembang Dhandhanggula
gratis.Dia senang pada orang-orang yang mau menghargai tembangnya.
Tanpa diminta, wanita itu lalu
menceritakan kisah hidupnya.Dari seorang Sindhen utama yang dipuja, saat
dia berumur 18 tahun,menjadi Sindhen
jalanan seperti ini.
"Suamiku sedang
sakit.Aku tak tahu bagaimana cara mendapatkan uang, selain nyinden, walau di jalanan," dia berkata sambil menghela nafas.
Ada beban berat yang
menganjal di dadanya. Matanya menerawang.Dia ingat ketika
dengan bangga telah memenangkan hati seorang Dhalang, walaupun untuk itu dia telah menyebabkan seorang wanita
lain tersingkir.
“ Maaf, Bu. Apakah ibu kenal dengan Tris?”
tanyaku, setelah wanita tersebut menuntaskan kisahnya. Wanita itu terlihat
terkejut.
“ Tris yang mana
ya? “ ucapnya cepat sambil menutupi kegugupannya.
“ Saya punya
teman reporter namanya Tris. Kelihatannya kenal dengan Ibu dan Dhalang Sastro,”
tukasku. Aku kemudian menceritakan tentang Tris.
“ Banyak orang
yang kenal dengan kami, karena kami dulu pentas dimana-mana!” cetus wanita itu
jumawa sambil menegakkan tubuhnya.
Aku bisa
memaklumi sikapnya, sikap seorang mantan pesohor, yang yakin masih dikenal oleh
semua orang. Tapi Aku tetap merasa mereka punya sebuah pertalian kisah,
walaupun keduanya tidak mau menceritakan kepadanya. Saat ini aku belum berani mengorek lebih mendalam.
"Suatu saat aku ingin
nyinden lagi. Di sebuah pentas! "tukas wanita itu, setelah termenung cukup lama. Aku memandang
wanita tersebut dengan terharu. Jiwa seni rupanya masih menggeliat walaupun di
tengah keterpurukan.
Kami kemudian berpisah,
setelah masing-masing menghabiskan segelas es jeruk.Wanita itu pergi dengan
menggenggam uang 50000 yang kupaksa untuk menerimanya.
******
Sepulang
meliput, Aku sengaja mampir ke Museum Wayang yang kini sudah dibuka untuk umum.
Hanya dengan membayar 5000 rupiah,aku bisa menikmati aneka koleksi yang
menggambarkan sejarah pewayangan di negeri ini.
Aku
melihat-lihat ke bagian Wayang Kulit,
melihat perangkat Gamelan yang dulunya dimiliki oleh Dhalang Sastro.
Gamelan itu masih cukup bagus
kondisinya. Sementara perangkat wayang lengkap dengan gunungannya juga ditata di
depannya, seperti siap digelar sebuah
pertunjukan.
Aku duduk diantara
gamelan tersebut. Dudukku sengaja kubuat menyimpuh
seperti seorang Sindhen.Aku sedang
menghayati bagaimana rasanya menjadi seorang Sindhen yang melagukan tembang-tembang Macapatan mengiringi sebuah pertunjukan Wayang.
Aku memejamkan mata, terlihat lampu Blenchong dan gerak sang Wayang yang
dikibaskan oleh Dhalang, kemudian suara Sindhennya menggema tunggal. Aku jadi
bisa mengerti kenapa wanita itu merindukan untuk Nyindhen lagi dalam sebuah
pentas. Pementasan akan membuatnya menjadi
seorang Diva dalam sebuah pertunjukan. Hal yang mungkin tak bisa dia
dapatkan dalam kehidupan nyata yang penuh dengan persoalan hidup.
*****
Aku mencoba
mencari wanita itu lagi ketika pergi ke
pasar, aku ingin mentraktirnya minum lagi. Kemarin aku lupa
menceritakan tentang Gamelan
suaminya yang sudah berada di Museum.
Mungkin itu akan
bisa sedikit mententramkan hati Sang
Dhalang, bahwa Wayang dan Gamelan yang dicintainya, setidaknya kini telah menjadi simbol budaya, yang dapat digunakan
sebagai pembelajaran untuk anak cucu.
Selain itu aku
ingin lagi mencoba mengorek hubungannya
dengan Tris. Sejujurnya aku sudah mulai tertarik dengan lelaki berambut ikal
tersebut. Aku ingin tahu lebih mendalam bagaimana kehidupannya, termasuk masa
lalunya.
Tapi wanita itu
tidak aku temui, walau aku sudah keliling pasar. Dari penjual sayur yang kutemui,
diperoleh informasi kalau memang sudah lama wanita itu tidak nampak nyindhen di pasar karena sakit suaminya
yang bertambah parah. Aku lalu berencana
ingin pergi mencari rumahnya.
****
Pagi ini penuh
aroma duka. Aku akhirnya bertemu
wanita Sindhen itu, dan juga
mengunjungi rumahnya. Tapi aku menemuinya dengan air mata yang menetes deras di
matanya. Air mata yang sama juga aku
lihat meleleh dari sudut mata Tris.
Dhalang Sastro
meninggal dunia, dan mereka adalah dua orang yang menangis paling dalam
mengantar kepergiannya. Aku baru tahu kalau Tris ternyata adalah anak Dhalang
Sastro, dari istri pertama yang disingkirkan, yang kemudian sudah terlebih dulu
meninggal karena memendam sakit perasaan. Setelah ibunya meninggal, Tris
kemudian diasuh oleh bibinya.
Sebelum jenazah
diberangkatkan, ada sebuah ritual unik yang dilaksanakan atas permintaan Sang
Dhalang.
Wanita itu
memakai kebayanya, kali ini berwarna hitam. Rambutnya juga disanggul, tapi
ditutup dengan kerudung hitam tipis. Dia berdiri di teras yang berundak
tinggi dengan keranda jenazah di
sampingnya. Orang-orang berkumpul di halaman, dengan pandangan tertuju ke arah
teras. Ini seperti sebuah pentas. Dengan
wanita Sindhen itu dan jenazah Dhalang Sastro sebagai pemainnya.
Kemudian
terdengar suara yang melengking tinggi dan meliuk mendayu. Wanita itu
menyanyikan sebuah tembang Megatruh
untuk mengiringi kepergian suaminya. Suasana sangat khusuk, sampai di akhir
tembang, ketika keranda jenazah itu kemudian diangkat untuk dibawa ke
pemakaman.
“ Tadi itu adalah pentas Sindhenku yang paling hebat!” gumamnya
puas ketika aku menyalaminya.
Aku memandangnya terharu. Aku melihat jiwa Sindhen tersebut sudah terbang mengikuti jenazah suaminya. ****
Baca juga resensi buku 9 Secret of Women, Rahasia Gizi yang Penting Diketahui oleh Wanita
Baca juga resensi buku 9 Secret of Women, Rahasia Gizi yang Penting Diketahui oleh Wanita